Pola Asuh Orang Tua yang Mencegah Anak Narsistik: Simak Ciri dan Penyebabnya
Ayah dan Bunda, pernahkah kita mengamati perilaku si kecil yang tampak begitu fokus pada diri sendiri, haus akan perhatian, atau sulit menerima kritik? Beberapa ciri ini mungkin mengarah pada kecenderungan anak narsistik.
Sebagai orang tua, penting bagi kita untuk memahami bahwa pembentukan karakter anak narsistik pada anak seringkali tidak terjadi begitu saja, melainkan dipengaruhi oleh berbagai faktor, salah satunya adalah pola asuh yang kita terapkan.
Artikel ini hadir untuk membuka wawasan kita tentang berbagai penyebab munculnya sifat anak narsistik pada anak. Kita akan mengulas bagaimana pola asuh tertentu, baik yang terlalu memanjakan maupun terlalu keras, ternyata dapat berkontribusi pada perkembangan karakter ini.
Dengan memahami akar permasalahannya, diharapkan Ayah dan Bunda dapat lebih reflektif dalam mendidik buah hati dan mencegah terbentuknya sifat narsistik yang dapat menghambat perkembangan sosial dan emosional mereka di masa depan. Yuk, kita simak penjelasannya lebih lanjut!
Ciri Anak Narsistik dan Penyebabnya
Di balik senyum percaya diri seorang anak, terkadang tersimpan kepribadian yang belum tentu sehat secara emosional. Salah satunya adalah munculnya karakter anak narsistik, yaitu anak yang memiliki kebutuhan berlebihan untuk dikagumi, merasa diri paling penting, dan kurang memiliki empati terhadap orang lain.
Meski tampak seperti kepercayaan diri tinggi, narsisme pada anak justru bisa menjadi masalah psikologis serius jika tidak ditangani sejak dini.
Menurut penelitian dalam anak yang mengalami narsisme pada anak bukan bawaan lahir, tetapi terbentuk dari lingkungan, terutama pola asuh orang tua. Anak yang terus-menerus dipuji secara berlebihan, disebut paling istimewa tanpa penyeimbang realita, atau terlalu sering dibandingkan dengan anak lain bisa tumbuh menjadi pribadi narsistik. Ciri khas anak narsistik antara lain:
1. Selalu Ingin Jadi Pusat Perhatian dan Tidak Suka Kalah
Beberapa anak memiliki dorongan kuat untuk selalu menjadi pusat perhatian dalam setiap situasi. Mereka merasa harus selalu mendapatkan sorotan agar diakui oleh lingkungan sekitarnya.
Selain itu, mereka cenderung tidak suka kalah dalam kompetisi atau perdebatan. Ketidakmampuan menerima kegagalan bisa membuat mereka sulit berkembang dan belajar dari pengalaman.
2. Merasa Paling Benar dan Sulit Menerima Kritik
Orang dengan sikap ini biasanya memiliki pandangan bahwa pendapatnya selalu lebih unggul dari orang lain. Mereka sering mengabaikan perspektif lain dan enggan mempertimbangkan sudut pandang berbeda.
Kesulitan menerima kritik membuat mereka defensif saat mendapatkan masukan. Padahal, kritik yang membangun dapat menjadi alat untuk meningkatkan diri dan memahami kekurangan dengan lebih baik.
3. Sering Membandingkan Diri dengan Orang Lain dalam Hal Kelebihan
Kebiasaan membandingkan diri dengan orang lain sering muncul dalam bentuk mencari keunggulan pribadi. Mereka selalu ingin memastikan bahwa mereka lebih baik atau lebih sukses dibandingkan orang-orang di sekitar mereka.
Namun, sikap ini bisa menyebabkan tekanan berlebih dan ketidakpuasan terhadap diri sendiri. Alih-alih fokus pada pertumbuhan pribadi, mereka terlalu sibuk mengukur pencapaian mereka dengan standar eksternal.
4. Memiliki Empati Rendah, Sulit Memahami Perasaan Orang Lain
Kurangnya empati membuat mereka kesulitan memahami perasaan orang lain. Mereka sering kali tidak menyadari dampak emosional dari tindakan atau perkataan mereka terhadap orang di sekitar.
Tanpa kemampuan untuk merasakan apa yang dialami orang lain, mereka mungkin bersikap kurang peka. Hal ini dapat mempersulit mereka dalam membangun hubungan sosial yang sehat dan penuh pengertian.
5. Ingin Diperlakukan Secara Istimewa Meskipun Belum Pantas
Ada individu yang merasa harus selalu mendapatkan perlakuan istimewa meskipun belum menunjukkan usaha yang cukup. Mereka menganggap bahwa perhatian dan hak istimewa adalah sesuatu yang otomatis diberikan kepada mereka.
Sikap ini sering kali menghambat mereka dalam mengembangkan sikap tanggung jawab. Mereka mungkin kurang menghargai proses dan merasa bahwa mereka layak mendapatkan sesuatu tanpa perlu berusaha.
Dalam banyak kasus, anak yang mengalami pola asuh permisif atau justru overprotektif cenderung lebih rentan menjadi anak narsistik. Ketika orang tua terlalu fokus pada pencapaian anak tanpa membekali nilai-nilai tanggung jawab dan kepedulian sosial, anak bisa mengembangkan pandangan diri yang tidak realistis.
Pola asuh semacam ini seringkali tidak disadari. Orang tua ingin memberikan yang terbaik, tetapi justru membentuk anak yang bergantung pada pengakuan dari luar. Misalnya, anak selalu disemangati karena nilai sempurna atau penampilannya yang menarik, bukan karena usaha, ketekunan, atau empati yang ia tunjukkan.
5 Cara Mengatasi Anak Narsistik dalam Islam
Membentuk pribadi anak yang rendah hati dan penuh empati membutuhkan proses. Terutama bagi anak yang sudah menunjukkan tanda-tanda narsistik, orang tua perlu mengambil pendekatan yang sabar dan konsisten.
Islam telah mengajarkan banyak prinsip dalam mendidik anak dengan akhlak yang mulia, yang bisa menjadi solusi dalam mengatasi masalah anak narsistik ini. Berikut lima cara Islami yang bisa diterapkan untuk membantu anak keluar dari kecenderungan narsisme.
Ajarkan Konsep Tauhid dan Ketawadhuan
Mengenalkan anak kepada Allah sejak dini merupakan fondasi utama dalam pembentukan karakter. Konsep tauhid mengajarkan bahwa hanya Allah yang Maha Sempurna, bukan manusia, sehingga anak memahami bahwa semua kelebihan adalah titipan.
Dengan pemahaman ini, mereka belajar untuk tidak sombong terhadap kemampuan yang dimiliki. Sebagaimana firman Allah dalam QS. Luqman ayat 18
وَلَا تُصَعِّرْ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلَا تَمْشِ فِى الْاَرْضِ مَرَحًاۗ اِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُوْرٍۚ ١٨
wa lâ tusha‘‘ir khaddaka lin-nâsi wa lâ tamsyi fil-ardli maraḫâ, innallâha lâ yuḫibbu kulla mukhtâlin fakhûr
Janganlah memalingkan wajahmu dari manusia (karena sombong) dan janganlah berjalan di bumi ini dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi sangat membanggakan diri.
Dari sini, Bunda bisa menjelaskan pada anak bahwa Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong. Dengan pembelajaran ini, membuat anak menyadari untuk selalu menjaga adab yang baik.
2. Fokus pada Akhlak, Bukan Pencapaian Semata
Sering kali, orang tua lebih cepat memberikan apresiasi terhadap keberhasilan akademik atau penampilan anak. Padahal, Islam lebih menekankan pentingnya membangun karakter dan akhlak yang baik dalam kehidupan sehari-hari.
وَقَضٰى رَبُّكَ اَلَّا تَعْبُدُوْٓا اِلَّآ اِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ اِحْسٰنًاۗ اِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ اَحَدُهُمَآ اَوْ كِلٰهُمَا فَلَا تَقُلْ لَّهُمَآ اُفٍّ وَّلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَّهُمَا قَوْلًا كَرِيْمًا
Artinya: “Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan janganlah engkau membentak keduanya, serta ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik.” (QS. Al Isra: 23).
Ajarkan anak untuk bersikap santun, menghormati orang lain, dan membantu sesama tanpa pamrih. Nilai seseorang tidak hanya diukur dari prestasi duniawi, tetapi dari amal dan kebaikan yang dilakukan dalam kehidupannya.
3. Batasi Eksposur Media Sosial dan Validasi Berlebihan
Paparan berlebihan terhadap media sosial dapat membuat anak mengaitkan harga dirinya dengan jumlah “like” atau komentar. Mereka terbiasa menerima validasi dari dunia maya, sehingga membentuk pola pikir yang kurang seimbang.
Islam mengajarkan pentingnya kesederhanaan dan menjauhi perilaku pamer (riya’). Oleh karena itu, orang tua sebaiknya lebih bijak dalam membagikan konten tentang anak dan mengajarkan mereka tentang niat ikhlas sejak dini.
4. Bangun Komunikasi Empatik dan Reflektif
Islam menganjurkan dialog terbuka dalam keluarga agar anak tumbuh dengan pemahaman emosional yang baik. Meluangkan waktu untuk berbicara tentang perasaan, kesalahan, dan cara menyikapi kegagalan dapat memperkuat hubungan dalam keluarga.
Selain memberikan pujian, orang tua juga perlu membantu anak dalam memahami perasaan orang lain. Dengan refleksi yang sehat, anak dapat mengembangkan empati dan mengurangi kecenderungan narsistik dalam bersikap.
5. Jadikan Kisah-Kisah Nabi sebagai Teladan
Kisah para Nabi mengandung banyak pelajaran berharga tentang kesederhanaan, kesabaran, dan kepedulian terhadap sesama. Nabi Muhammad ﷺ adalah contoh terbaik, karena beliau tetap rendah hati meskipun memiliki kemuliaan yang luar biasa.
وَإِنَّكَ لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيمٍ
“Sesungguhnya engkau (Muhammad) berada di atas akhlak yang agung.” (QS Al-Qalam [68]: 4).
Menceritakan kisah-kisah ini kepada anak membantu mereka memahami bahwa keistimewaan sejati terletak pada akhlak, bukan sekadar popularitas. Dengan meneladani sifat Nabi, anak akan terdorong untuk berbuat baik tanpa keinginan untuk dikagumi.
Kesimpulan
Mengatasi anak narsistik bukan perkara mudah, tetapi sangat mungkin dilakukan jika orang tua berkomitmen memperbaiki pola asuh. Narsisme bukan sekadar sifat, tapi bisa berkembang menjadi gangguan kepribadian jika tidak dibimbing dengan bijak.
Maka, penting bagi setiap orang tua untuk lebih peka dalam membangun karakter anak, tidak hanya melalui pujian, tapi juga nilai-nilai kehidupan yang mendalam.
Islam telah menyediakan fondasi kuat dalam mendidik anak agar tumbuh menjadi pribadi yang seimbang secara emosional, spiritual, dan sosial.
Dengan menanamkan akhlak yang luhur, sikap rendah hati, dan cinta kepada Allah, anak akan tumbuh dengan kepercayaan diri yang sehat, bukan narsisme yang rapuh.
Reference
Psychology Today. Diakses pada 2020. Childhood Roots of Narcissistic Personality Disorder.