Mengenal FAFO Parenting Bagi Anak dan Konsekuensinya
Bunda, saat ini ada berbagai tren dan istilah baru dalam dunia parenting yang terus bermunculan. Salah satunya adalah FAFO parenting atau Freak Out and Find Parenting.
Mungkin sebagian dari kita masih asing dengan istilah ini, namun pendekatan pengasuhan ini memiliki karakteristik dan konsekuensi tersendiri bagi tumbuh kembang buah hati kita.
Sebagai orang tua yang selalu ingin memberikan yang terbaik, penting bagi kita untuk memahami berbagai pendekatan parenting, termasuk FAFO.
Artikel ini hadir untuk mengenalkan lebih dekat tentang apa itu FAFO parenting, bagaimana ciri-ciri penerapannya dalam kehidupan sehari-hari, serta apa saja potensi konsekuensi yang mungkin timbul bagi anak-anak kita.
Dengan memahami konsep ini, diharapkan Bunda dapat lebih bijak dalam mengevaluasi gaya pengasuhan yang diterapkan dan memastikan bahwa setiap tindakan kita mendukung perkembangan anak secara optimal. Yuk, kita simak penjelasannya lebih lanjut!
Mengenal FAFO Parenting dan Karakteristik Pola Asuhnya
Di era media sosial seperti sekarang, berbagai istilah parenting modern bermunculan, salah satunya adalah fafo parenting.
Istilah ini berasal dari akronim bahasa Inggris yaitu Find Out and F Around yang mengandung makna membiarkan anak mencoba sesuatu tanpa banyak intervensi, meski risikonya bisa merugikan anak.
Pola asuh ini sering dikaitkan dengan prinsip biarkan anak belajar dari kesalahan dengan caranya sendiri. Secara sekilas, fafo parenting tampak seperti bentuk kebebasan yang sehat.
Namun, pola ini berpotensi menjadi berbahaya jika orang tua melepas tanggung jawab sepenuhnya tanpa pendampingan.
Konsep ini kerap muncul dari kelelahan emosional orang tua atau anggapan bahwa anak akan lebih cepat dewasa jika menghadapi konsekuensi langsung dari tindakannya, meskipun dalam situasi yang belum sesuai dengan usianya.
Seperti yang dijelaskan dalam artikel Whats Is FAFO Parenting? Unpacking the Trend Parents Are Buzzing About by Lauren Brown West1, dalam praktiknya, FAFO parenting ditandai dengan beberapa ciri khas berikut:
1. Orang Tua Minim Memberi Arahan atau Bimbingan kepada Anak
Ketika orang tua kurang memberikan bimbingan, anak harus menemukan jalannya sendiri tanpa pedoman yang jelas. Hal ini dapat membuat mereka merasa bingung dalam menghadapi tantangan hidup.
Kurangnya arahan dapat menyebabkan anak kesulitan membedakan mana yang benar dan salah. Tanpa dukungan, mereka mungkin membuat keputusan impulsif yang berdampak jangka panjang.
2. Anak Dibiarkan Menghadapi Situasi Sulit Tanpa Pendampingan
Beberapa orang tua beranggapan bahwa anak akan belajar dari pengalaman tanpa perlu campur tangan. Mereka membiarkan anak menghadapi tantangan tanpa dukungan atau solusi yang diberikan.
Pendekatan ini dapat membuat anak merasa kesepian dan tidak memiliki tempat untuk meminta bantuan. Tanpa pendampingan, mereka berisiko mengalami stres dan kesulitan dalam mengelola emosi.
3. Mengandalkan Pengalaman sebagai Guru Utama Tanpa Batasan yang Jelas
Belajar dari pengalaman memang penting, tetapi tanpa batasan yang jelas, anak bisa mengambil pelajaran yang salah. Mereka mungkin mengira bahwa semua kesalahan harus dihadapi sendiri tanpa alternatif yang lebih baik.
Orang tua sebaiknya tetap memberikan arahan agar anak dapat mengembangkan pemahaman yang seimbang. Dengan adanya batasan, mereka belajar dari pengalaman tanpa merasa harus melalui kesulitan ekstrem.
4. Orang Tua Menanggapi Kesalahan Anak dengan Sikap Pasif
Ketika anak melakukan kesalahan, beberapa orang tua memilih untuk tidak memberikan arahan atau koreksi. Kalimat seperti “Biarin aja, nanti juga kapok” membuat anak harus menghadapi konsekuensi tanpa bimbingan.
Pendekatan ini bisa membuat anak merasa tidak didukung ketika mereka membutuhkan nasihat. Bimbingan yang baik akan membantu mereka belajar dari kesalahan dengan cara yang lebih konstruktif.
5. Fokus pada Pembelajaran Alami, tapi Mengabaikan Anak
Pembelajaran alami memang membantu anak memahami kehidupan secara langsung. Namun, jika tanpa perlindungan dan nilai-nilai dasar, mereka bisa berkembang tanpa prinsip yang jelas.
Orang tua perlu memastikan anak tetap mendapatkan arahan yang mencerminkan moral dan etika. Dengan keseimbangan antara pengalaman dan bimbingan, anak bisa tumbuh dengan pemahaman yang lebih matang.
Meski tidak semua unsur fafo parenting bersifat negatif, pendekatan ini harus sangat hati-hati agar tidak jatuh pada pola pengabaian (neglect parenting). Seperti yang dijelaskan pada sejumlah artikel ilmiah keterlibatan emosional dan arahan orang tua adalah komponen penting dalam keberhasilan pola asuh.
5 Konsekuensi Menerapkan FAFO Parenting dan Perspektif Islam
Menerapkan fafo parenting secara ekstrem pada anak memiliki sejumlah konsekuensi serius. Anak mungkin memang belajar melalui pengalaman, tetapi jika tanpa arahan dan nilai moral yang kuat, proses tersebut bisa berdampak buruk pada perkembangan emosional dan spiritualnya.
Sayangnya, konsep FAFO parenting ini juga tidak sesuai dengan nilai-nilai islam. Islam mengajarkan keseimbangan antara kebebasan anak dan peran pembimbing dari orang tua. Rasulullah ﷺ adalah teladan dalam mendidik anak, di mana beliau memberikan arahan dengan penuh kasih sayang, bukan sekadar membiarkan anak belajar dari kesalahan.
Dalam pendekatan Islam, mendidik anak harus mengandung prinsip ta’dib (pembinaan adab), tarbiyah (pendidikan berjenjang), dan ta’lim (pemberian ilmu). Ketiganya perlu diberikan dengan metode yang sesuai dengan usia anak, disertai cinta dan bimbingan yang jelas.
Adanya arahan orang tua menunjukkan bahwa bimbingan spiritual dan moral dari orang tua secara signifikan mengurangi kecenderungan remaja terhadap perilaku menyimpang.
Berikut ini lima konsekuensi yang bisa terjadi jika orang tua menerapkan fafo parenting tanpa kontrol dan cinta yang seimbang.
1. Anak Merasa Tidak Memiliki Figur Panutan
Ketika orang tua terlalu pasif dalam memberikan arahan, anak kehilangan sosok yang dapat menjadi teladan bagi mereka. Tanpa bimbingan yang jelas, mereka mungkin kesulitan membangun pemahaman moral dan etika sejak dini.
Hal ini sangat berbeda dalam islam, bagaimana orang tua seharusnya menjadi teladan yang baik bagi anak. Sebagaimana kisah para salafus shalih terdahulu, orang tua perlu menjadi teladan terlebih dahulu bagi anak, agar dapat dicontoh dalam kehidupan sehari-hari.
Keberhasilan Nabi Ibrahim ‘alaihissalam mendapatkan karunia anak shaleh seperti Isma’il ‘alaihissalam adalah karena beliau sendiri berhasil mendidik dan membentuk dirinya menjadi seorang hamba yang shaleh. Allah Azza wa Jalla menegaskan dalam al-Qur’an:
قَدْ كَانَتْ لَكُمْ اُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِيْٓ اِبْرٰهِيْمَ وَالَّذِيْنَ مَعَهٗۚ اِذْ قَالُوْا لِقَوْمِهِمْ اِنَّا بُرَءٰۤؤُا مِنْكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُوْنَ مِنْ دُوْنِ اللّٰهِۖ
“Sungguh telah ada untuk kalian teladan yang baik dalam diri Ibrahim dan orang-orang yang bersamanya.” ( QS. al-Mumtahanah: 4)
Ketika anak terbiasa mendengar tutur kata yang baik, berperilaku sopan, menjaga pergaulan semua dilakukan sebab orang tua memberikan arahan kepada anak agar sesuai dengan norma agama dan sosial. Hal ini membuat anak menjadi figur panutan dari luar rumah, seperti lingkungan pergaulan atau media digital. Namun, tidak semua sumber eksternal memiliki nilai yang baik, sehingga anak berisiko mendapatkan pengaruh yang kurang positif.
2. Meningkatnya Risiko Perilaku Menyimpang
Kurangnya pengawasan dan arahan dari orang tua dapat menyebabkan anak lebih mudah terpengaruh oleh lingkungan negatif. Mereka mungkin tidak memahami batasan sosial atau norma yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat. Padahal hal ini sudah diatur dalam Al-Qur’an di Q.S Al A’raf ayat 80
وَلُوْطًا اِذْ قَالَ لِقَوْمِهٖٓ اَتَأْتُوْنَ الْفَاحِشَةَ مَا سَبَقَكُمْ بِهَا مِنْ اَحَدٍ مِّنَ الْعٰلَمِيْنَ ٨٠
wa lûthan idz qâla liqaumihî a ta’tûnal-fâḫisyata mâ sabaqakum bihâ min aḫadim minal-‘âlamîn
(Kami juga telah mengutus) Lut (kepada kaumnya). (Ingatlah) ketika dia berkata kepada kaumnya, “Apakah kamu mengerjakan perbuatan keji yang belum pernah dikerjakan oleh seorang pun sebelum kamu di dunia ini?
Anak yang tumbuh tanpa bimbingan jelas lebih rentan bertindak impulsif dan melanggar aturan. Ketidaktahuan mengenai konsekuensi dari perbuatannya dapat membuat mereka kesulitan dalam menyesuaikan diri di lingkungan sosial.
3. Rendahnya Keterikatan Emosional Anak dengan Orang Tua
Minimnya perhatian emosional dari orang tua dapat berdampak pada hubungan jangka panjang dengan anak. Mereka mungkin merasa kurang diperhatikan dan kesulitan menjalin ikatan yang erat dengan keluarga.
Dalam jangka panjang, anak bisa mengalami kesulitan dalam membangun hubungan yang sehat dengan orang lain. Kurangnya keterikatan emosional ini dapat berpengaruh pada cara mereka berinteraksi dan membentuk kepercayaan terhadap lingkungan sekitarnya.
4. Kurangnya Pemahaman Nilai Agama dan Akhlak
Dalam Islam, orang tua memiliki tanggung jawab besar untuk menanamkan nilai-nilai tauhid, akhlak, dan ibadah kepada anak. Pendidikan agama menjadi aspek penting dalam membentuk karakter dan prinsip hidup mereka. Hal ini telah Allah sampaikan dalam firman-Nya di Q.S At Tahrim ayat 6
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا قُوْٓا اَنْفُسَكُمْ وَاَهْلِيْكُمْ نَارًا وَّقُوْدُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلٰۤىِٕكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَّا يَعْصُوْنَ اللّٰهَ مَآ اَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُوْنَ مَا يُؤْمَرُوْنَ ٦
Wahai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu. Penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar dan keras. Mereka tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepadanya dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.
Ayat ini menegaskan bahwa anak perlu mendapatkan bimbingan agama sebab merupakan bagian dari tanggung jawab orang tua dalam Islam.
5. Anak Menjadi Pribadi yang Cenderung Egois dan Tidak Peduli Lingkungan
Ketika anak terbiasa mengambil keputusan sendiri tanpa arahan, mereka dapat tumbuh menjadi pribadi yang kurang peduli terhadap sekitar. Kurangnya empati membuat mereka sulit menerima masukan dari orang lain.
Kebiasaan ini dapat menghambat kemampuan mereka dalam membangun relasi sosial yang sehat. Ketidakmampuan mendengar nasihat dan memahami perspektif orang lain berisiko membuat mereka kesulitan beradaptasi dalam kehidupan bermasyarakat.
Penutup
Mengenalkan anak pada dunia nyata memang penting, tetapi bukan berarti kita membiarkan mereka menghadapi semua risiko tanpa arahan. Fafo parenting bisa menjadi pendekatan yang seimbang jika orang tua tetap hadir sebagai pembimbing, bukan sekadar pengamat pasif. Dalam Islam, mendidik anak adalah amanah besar yang harus dilakukan dengan cinta, hikmah, dan pertanggungjawaban.
Yuk Bunda dan Ayah, mari lebih peka terhadap cara kita membesarkan buah hati. Bukan hanya biarkan mereka belajar dari dunia, tapi dampingi mereka dengan nilai dan cinta, agar tumbuh menjadi pribadi yang kuat dan berakhlak mulia.
Reference
- Whats Is FAFO Parenting? Unpacking the Trend Parents Are Buzzing About by Lauren Brown Wes. Parents. Diakses pada 2025 ↩︎