Anak Tantrum di Sekolah? Begini Cara Bijak Orang Tua dan Guru Menghadapinya
Ayah dan Bunda, melihat si kecil tantrum di sekolah seringkali membuat kita bingung dan khawatir. Perasaan marah, sedih, atau frustrasi yang meledak-ledak ini adalah bagian dari perkembangan emosional anak atau tantrum di sekolah.
Namun, bagaimana kita bisa menghadapinya dengan bijak? Tantrum bisa menjadi cara anak mengekspresikan emosi yang belum bisa diolah dengan baik. Di sinilah peran kolaborasi antara orang tua dan ustadzah menjadi sangat krusial. Bersama, kita bisa membantu anak belajar mengelola emosi dan merasa aman.
Artikel ini hadir untuk mengupas tuntas cara bijak orang tua dan ustadzah menghadapi tantrum anak. Kita akan membahas tips praktis, mulai dari memahami pemicu tantrum, cara berkomunikasi yang efektif dengan anak, hingga strategi kolaboratif antara rumah dan sekolah. Diharapkan dengan panduan ini, Anda dapat menjadi pendukung terbaik bagi si kecil. Yuk, simak ulasan selengkapnya!
Faktor-Faktor Keluarga yang Mempengaruhi Tantrum Anak
Tantrum pada anak usia dini bukan hanya dipicu oleh kondisi di sekolah atau lingkungan luar, tetapi juga sangat dipengaruhi oleh dinamika yang terjadi di dalam keluarga. Anak adalah individu yang sangat peka terhadap suasana emosional di sekitarnya. Ketika lingkungan keluarga tidak stabil atau kurang mendukung, anak cenderung menunjukkan reaksi emosional yang intens, termasuk tantrum.
Berikut adalah beberapa faktor keluarga yang dapat memicu tantrum pada anak. Memahami penyebab ini dapat membantu orang tua dan pendidik mengambil langkah yang lebih tepat dalam mendampingi anak, baik di rumah maupun di sekolah.
1. Anak Terlalu Sering Mendapat Kritikan

Anak yang terlalu sering dikritik oleh anggota keluarga, terutama dengan nada yang keras atau tidak disertai penjelasan yang membangun, cenderung mengalami tekanan emosional. Kritik yang berulang tanpa dukungan positif dapat membuat anak merasa tidak cukup baik, tidak dihargai, atau bahkan takut melakukan kesalahan. Akibatnya, anak bisa meluapkan perasaan tersebut melalui tantrum.
Penting bagi orang tua untuk membedakan antara koreksi perilaku dan kritik yang menjatuhkan. Koreksi yang disampaikan dengan lembut dan disertai alasan akan membantu anak belajar tanpa merasa tertekan. Sebaliknya, kritik yang bersifat menyalahkan atau membandingkan justru dapat merusak rasa percaya diri anak dan memperburuk regulasi emosinya.
2. Masalah Orang Tua
Konflik antara ayah dan ibu, baik yang terlihat langsung maupun yang dirasakan secara tidak langsung, dapat memengaruhi kestabilan emosi anak. Anak yang tumbuh dalam suasana rumah yang penuh ketegangan atau pertengkaran cenderung merasa tidak aman. Ketidakpastian ini bisa membuat anak lebih mudah tersulut emosinya dan menunjukkan tantrum sebagai bentuk respons terhadap stres yang mereka alami.
Meskipun anak belum memahami sepenuhnya isi konflik orang tua, mereka sangat peka terhadap perubahan nada suara, ekspresi wajah, dan suasana rumah. Oleh karena itu, menjaga komunikasi yang sehat dan menghindari pertengkaran di depan anak menjadi langkah penting untuk menciptakan lingkungan emosional yang stabil.
3. Gangguan saat Bermain oleh Saudara

Bermain adalah aktivitas penting bagi anak untuk belajar, berekspresi, dan membangun kemandirian. Ketika anak sedang asyik bermain lalu diganggu atau dicampuri oleh saudara tanpa izin, mereka bisa merasa frustasi. Gangguan ini, meskipun tampak sepele, dapat memicu tantrum karena anak merasa ruang pribadinya tidak dihargai.
Orang tua perlu mengajarkan anak-anak untuk saling menghormati saat bermain. Memberikan pemahaman tentang batasan dan waktu bergiliran dapat membantu mengurangi konflik antar saudara. Selain itu, orang tua juga bisa mendampingi anak dalam menyelesaikan konflik kecil agar mereka belajar cara berkomunikasi dan menyelesaikan masalah secara sehat.
4. Masalah Emosional dengan Salah Satu Orang Tua
Hubungan emosional yang kurang hangat atau tidak konsisten antara anak dan salah satu orang tua dapat mempengaruhi kestabilan emosi anak. Misalnya, jika anak merasa diabaikan, terlalu dikontrol, atau tidak mendapatkan perhatian yang cukup dari ayah atau ibu, mereka bisa menunjukkan tantrum sebagai bentuk protes atau pencarian perhatian.
Membangun kedekatan emosional dengan anak tidak selalu membutuhkan waktu yang lama, tetapi membutuhkan kualitas interaksi yang baik. Menyediakan waktu khusus untuk bermain bersama, mendengarkan cerita anak, dan menunjukkan kasih sayang secara konsisten akan membantu anak merasa aman dan dihargai. Ketika anak merasa dekat secara emosional, mereka lebih mampu mengelola perasaan dengan cara yang sehat.
5. Persaingan dengan Saudara Kandung

Persaingan antar saudara, terutama dalam hal perhatian orang tua, mainan, atau prestasi, dapat menjadi pemicu konflik emosional yang berujung pada tantrum. Anak yang merasa kalah atau tersisih dalam persaingan ini bisa menunjukkan perilaku agresif atau menangis keras sebagai bentuk ekspresi ketidakpuasan.
Orang tua perlu menciptakan suasana keluarga yang adil dan tidak memicu perbandingan antar anak. Menghargai keunikan masing-masing anak, memberikan waktu berkualitas secara bergiliran, dan menghindari pujian yang bersifat membandingkan akan membantu mengurangi rasa cemburu dan persaingan yang tidak sehat. Dengan pendekatan ini, anak-anak belajar bahwa mereka dicintai tanpa syarat dan tidak perlu bersaing untuk mendapatkan perhatian.
Pendekatan Bijak dalam Menghadapi Anak Tantrum di Sekolah
Tantrum adalah bagian dari proses tumbuh kembang anak yang sering muncul di usia dini. Ledakan emosi ini bisa terjadi di rumah maupun di sekolah, dan sering kali membuat orang tua serta ustadzah merasa bingung atau kewalahan.
Namun, penting untuk diingat bahwa tantrum bukanlah perilaku buruk semata, melainkan sinyal bahwa anak sedang mengalami kesulitan dalam mengelola perasaannya.
Menghadapi anak yang tantrum membutuhkan pendekatan yang tenang, konsisten, dan penuh pengertian. Dengan strategi yang tepat, tantrum bisa menjadi momen pembelajaran emosional yang membantu anak mengenali dan mengatur perasaannya secara sehat.
Berikut adalah beberapa langkah bijak yang dapat diterapkan oleh orang tua dan ustadzah dalam menghadapi anak tantrum di lingkungan sekolah.
1. Tetap Tenang dan Tidak Ikut Emosi
Ketika anak mengalami tantrum, hal pertama yang perlu dilakukan oleh orang dewasa adalah menjaga ketenangan. Reaksi yang terburu-buru atau penuh emosi justru dapat memperburuk situasi. Anak yang sedang marah atau frustrasi membutuhkan figur dewasa yang stabil secara emosional agar merasa aman dan tidak semakin terpicu.
Respons tenang dari orang dewasa membantu anak belajar mengatur emosinya secara lebih efektif. Dengan menunjukkan sikap tenang, ustadzah dan orang tua memberikan contoh nyata tentang bagaimana menghadapi situasi sulit dengan kepala dingin. Sikap ini juga membantu anak merasa didampingi, bukan dihakimi.
2. Validasi Perasaan Anak dengan Empati

Langkah berikutnya adalah mengakui dan memahami perasaan anak. Validasi emosi berarti menunjukkan bahwa perasaan anak itu nyata dan layak untuk didengar. Misalnya, dengan mengatakan, “Ustadzah tahu kamu kecewa karena belum dapat giliran bermain,” anak merasa bahwa emosinya tidak diabaikan.
Validasi ini membantu anak belajar mengenali dan menamai perasaannya. Ketika anak merasa dimengerti, mereka lebih cepat tenang dan terbuka untuk diajak berdialog. Sikap empatik ini juga memperkuat hubungan antara anak dan pendidik, serta membangun kepercayaan yang penting dalam proses pembelajaran sosial-emosional.
3. Mengalihkan Perhatian dengan Aktivitas Positif
Setelah emosi anak mulai mereda, penting untuk mengarahkan energi mereka ke aktivitas yang konstruktif. Ustadzah dapat mengajak anak melakukan kegiatan yang menyenangkan dan menenangkan, seperti menggambar, membaca buku cerita, atau merapikan mainan bersama. Aktivitas ini berfungsi sebagai distraksi yang sehat sekaligus sarana pemulihan emosi.
Teknik pengalihan ini tidak hanya membantu anak keluar dari situasi emosional yang intens, tetapi juga mengajarkan mereka cara mengelola perasaan dengan cara yang produktif. Anak belajar bahwa ketika merasa marah atau sedih, mereka bisa memilih aktivitas yang membantu menenangkan diri tanpa harus meluapkan emosi secara berlebihan.
4. Terapkan Aturan Secara Konsisten

Konsistensi dalam menerapkan aturan sangat penting agar anak merasa aman dan tahu batasan perilaku yang dapat diterima. Aturan yang jelas dan sederhana, seperti “tidak boleh berteriak di kelas” atau “harus bergiliran saat bermain,” membantu anak memahami harapan yang berlaku di lingkungan sekolah.
Ketika aturan dijalankan secara konsisten oleh semua pihak, anak belajar disiplin dan tanggung jawab. Mereka tahu bahwa perilaku tertentu akan mendapat konsekuensi yang sama, tidak tergantung pada suasana hati orang dewasa. Konsistensi ini juga membentuk struktur yang stabil bagi anak, yang sangat dibutuhkan dalam proses regulasi emosi.
5. Bangun Komunikasi yang Aktif antara Orang Tua dan Sekolah
Mengatasi tantrum anak tidak bisa dilakukan secara sepihak. Diperlukan kerja sama antara orang tua dan ustadzah agar pendekatan yang diterapkan di rumah dan sekolah saling mendukung. Orang tua dapat berbagi informasi tentang kebiasaan anak, pemicu emosional, atau strategi yang efektif di rumah. Sebaliknya, ustadzah bisa memberikan laporan tentang perilaku anak di sekolah dan perkembangan emosionalnya.
Komunikasi yang terbuka dan rutin membantu menciptakan pendekatan yang konsisten dan menyeluruh. Anak pun merasa bahwa orang dewasa di sekitarnya saling bekerja sama untuk memahami dan mendukung mereka. Hal ini memperkuat rasa aman dan mempercepat proses pembentukan regulasi emosi yang sehat.
6. Tanamkan Nilai Islami dalam Pengelolaan Emosi

Di sekolah Islam, momen tantrum juga dapat dimanfaatkan sebagai kesempatan untuk menanamkan nilai-nilai agama. Ustadzah bisa mengajak anak berdoa saat merasa marah, mengingatkan pentingnya sabar, atau menceritakan kisah Nabi yang menunjukkan kasih sayang dan pengendalian diri. Nilai-nilai ini membantu anak memahami bahwa mengelola emosi adalah bagian dari akhlak mulia.
Integrasi nilai Islami dalam pengelolaan emosi memberikan landasan spiritual yang kuat bagi anak. Mereka belajar bahwa sabar bukan hanya sikap baik, tetapi juga ibadah. Dengan pendekatan ini, anak tidak hanya belajar mengatur perasaan, tetapi juga membentuk karakter yang sesuai dengan ajaran Islam.
Stimulasi Kecerdasan dan Kreativitas Anak Bersama TK Islam Montessori Albata!
Tantrum adalah bagian dari perjalanan tumbuh kembang anak yang wajar terjadi, termasuk di sekolah. Penyebab anak tantrum di sekolah bisa berasal dari kesulitan beradaptasi, kebutuhan fisik yang tidak terpenuhi, atau ingin mendapatkan perhatian. Orang tua dan ustadzah berperan penting dalam menghadapi tantrum dengan cara yang bijak.
Respons yang tenang, validasi perasaan, alih perhatian positif, serta konsistensi aturan akan membantu anak belajar mengelola emosi. Ditambah dengan nilai-nilai islami, anak bukan hanya tumbuh lebih tenang, tetapi juga belajar menjadi pribadi yang sabar dan berakhlak baik.
Oleh karena itu, Albata memberikan kesempatan belajar bahasa yang menyenangkan untuk anak. Nah, jika bunda saat ini sedang mencari TK Islam Montessori Albata terpercaya dengan akreditas A dan kualitas terbaik, maka kami merekomendasikan TK Islam Albata.
Kurikulum kami dibuat untuk membantu anak mencapai target pembelajaran hingga menambah nilai islam dalam diri anak.
Mengingat banyaknya keuntungan bergabung dengan TK Albata, jangan ragu untuk menyekolahkan ananda ke TK Albata. TK Albata memiliki kurikulum komprehensif terkait pendidikan anak usia dini serta penerapan keislaman untuk membantu meningkatkan iman si kecil.
Tunggu apalagi, segera daftarkan buah hati Anda bersama TK Montessori Islami Albata. Untuk informasi selengkapnya cek di akun instagram @albata.id atau klik disini ya.

Reference
Syamsuddin. (2013). Mengenal Perilaku Tantrum dan Bagaimana Mengatasinya (Understanding tantrum behavior and how to solve it). Informasi, 18(2).




