Mengelola Emosi Anak dengan Teladan Rasulullah ﷺ
Ayah dan Bunda, mengelola emosi anak adalah salah satu tantangan terbesar dalam pengasuhan. Di saat anak marah, sedih, atau frustrasi, respons kita sangat menentukan bagaimana mereka belajar mengatur perasaannya.
Kita memiliki teladan yakni Rasulullah ﷺ dengan akhlaknya yang baik. Beliau menunjukkan kepada kita metode yang penuh kasih, sabar, dan bijaksana dalam menanggapi emosi intens anak, selalu mengutamakan empati, validasi, dan pengajaran tentang kesabaran. Mempraktikkan cara beliau bukan hanya membentuk anak yang saleh, tetapi juga yang sehat secara emosional.
Artikel ini hadir untuk memandu Ayah dan Bunda menerapkan ajaran Rasulullah ﷺ dalam situasi sehari-hari. Kita akan membahas teladan spesifik beliau, mulai dari cara menenangkan yang marah hingga teknik mengajarkan anak tentang syukur dan sabar. Yuk, simak ulasan selengkapnya!
Karakter Emosi yang Sehat pada Anak
Setiap anak terlahir dengan emosi yang murni dan jujur. Mereka bisa tertawa bahagia hanya karena hal kecil, namun juga bisa menangis seketika ketika kecewa. Sebagai orang tua, memahami dan mengelola emosi anak adalah bagian penting dalam mendidik mereka menjadi pribadi yang tenang, berakhlak, dan berempati.
Rasulullah ﷺ telah memberikan teladan luar biasa tentang bagaimana menghadapi emosi dengan penuh kasih dan kesabaran. Melalui pendekatan Islami ini, anak tidak hanya belajar mengendalikan perasaan, tetapi juga mengenal nilai spiritual di balik setiap emosi.
Mengajarkan anak untuk mengenali dan mengelola emosinya sejak dini adalah pondasi penting bagi kesehatan mental mereka. Anak yang mampu mengendalikan perasaan cenderung memiliki kemampuan sosial yang lebih baik dan mampu menghadapi tekanan dengan tenang. Regulasi emosi yang baik berkaitan erat dengan kepercayaan diri dan keberhasilan anak di masa depan.
1. Mampu Mengenali dan Menyebutkan Perasaan
Langkah awal dalam membentuk karakter emosi yang sehat adalah membantu anak mengenali dan menyebutkan emosinya. Misalnya, ketika anak marah, bantu mereka mengatakan “aku sedang marah” atau “aku kecewa”. Dengan cara ini, anak belajar mengekspresikan perasaan secara verbal, bukan dengan tindakan agresif.
Anak yang diajarkan untuk menamai emosinya akan lebih mudah mengendalikan diri. Mereka dapat memahami bahwa marah atau sedih adalah hal yang wajar, asalkan disampaikan dengan cara yang baik.
2. Menunjukkan Empati Terhadap Orang Lain

Empati menjadi salah satu pilar utama dalam membentuk anak yang berakhlak mulia. Anak yang berempati tidak hanya memahami perasaannya sendiri, tetapi juga menghormati perasaan orang lain. Misalnya, mereka tahu kapan harus meminta maaf atau menenangkan teman yang sedang sedih.
Empati yang ditanamkan sejak kecil memperkuat hubungan sosial dan menurunkan risiko perilaku agresif di kemudian hari. Dengan demikian, kemampuan berempati merupakan tanda bahwa anak memiliki perkembangan emosi yang matang.
3. Mampu Mengendalikan Diri di Situasi Sulit
Tidak mudah bagi anak untuk menahan amarah atau rasa kecewa. Namun, dengan bimbingan yang konsisten, mereka bisa belajar merespons situasi dengan cara yang lebih tenang. Misalnya, dengan menarik napas dalam-dalam, menenangkan diri, atau meminta waktu untuk menyendiri.
Anak yang mampu mengendalikan diri biasanya tumbuh lebih resilien dan tidak mudah stres. Kemampuan regulasi diri adalah kunci penting untuk keseimbangan emosi di masa remaja. Orang tua dapat melatih hal ini melalui permainan peran atau kegiatan reflektif sederhana di rumah.
4. Berani Meminta Maaf dan Memaafkan

Salah satu bentuk kematangan emosi adalah kemampuan untuk meminta maaf dan memaafkan. Anak yang bisa mengakui kesalahan menunjukkan bahwa ia memahami nilai kejujuran dan tanggung jawab. Begitu pula ketika mereka mau memaafkan orang lain, itu menjadi tanda bahwa anak telah belajar melepaskan rasa sakit hati.
Dalam Islam, sikap memaafkan adalah akhlak yang sangat dijunjung tinggi. Rasulullah ﷺ bersabda, “Tidaklah harta seseorang berkurang karena sedekah, dan tidaklah seseorang bertambah kehormatan kecuali dengan memaafkan.” (HR. Muslim). Nilai ini dapat menjadi dasar anak dalam belajar mengelola emosinya dengan hati yang lapang.
Cara Mengelola Emosi Anak dengan Teladan Rasulullah ﷺ
Rasulullah ﷺ adalah contoh sempurna dalam mengelola emosi. Beliau mampu tetap tenang bahkan ketika menghadapi hinaan, fitnah, dan tantangan besar. Sifat sabar dan kasih sayang beliau menjadi pedoman utama bagi umat Islam, termasuk dalam mendidik anak-anak.
Dengan meneladani akhlak Rasulullah ﷺ, orang tua dapat mengajarkan anak untuk memahami makna kesabaran dan kedamaian dalam setiap keadaan.
1. Meneladani Sikap Sabar dalam Menghadapi Emosi Anak

Sabar bukan berarti diam tanpa tindakan, melainkan kemampuan menahan diri agar tidak bereaksi berlebihan. Dalam konteks mengelola emosi anak, sabar berarti memberi waktu bagi anak untuk menenangkan diri dan memahami apa yang ia rasakan. Rasulullah ﷺ tidak pernah membentak anak-anak, bahkan ketika mereka berbuat salah.
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللّٰهِ لِنْتَ لَهُمْۚ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيْظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوْا مِنْ حَوْلِكَۖ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِى الْاَمْرِۚ فَاِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللّٰهِۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِيْنَ ١٥٩
Maka, berkat rahmat Allah engkau (Nabi Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Seandainya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka akan menjauh dari sekitarmu. Oleh karena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam segala urusan (penting). Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertawakal.
Hal ini menunjukkan bahwa beliau menghargai dunia anak-anak dan selalu mengedepankan kasih sayang dalam mendidik.
2. Memberikan Contoh dalam Pengendalian Diri
Anak belajar bukan dari nasihat, tetapi dari teladan. Ketika orang tua mampu mengendalikan emosi di depan anak, mereka akan meniru sikap yang sama. Misalnya, saat menghadapi kesalahan anak, orang tua bisa menarik napas panjang, menenangkan diri, lalu berbicara dengan suara lembut.
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِيْ رَسُوْلِ اللّٰهِ اُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَنْ كَانَ يَرْجُوا اللّٰهَ وَالْيَوْمَ الْاٰخِرَ وَذَكَرَ اللّٰهَ كَثِيْرًاۗ ٢١
Sungguh, pada (diri) Rasulullah benar-benar ada suri teladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat serta yang banyak mengingat Allah.
Anak-anak yang tumbuh di lingkungan emosional positif cenderung memiliki kemampuan pengendalian diri yang lebih baik. Oleh karena itu, perilaku orang tua yang tenang dan sabar menjadi cerminan langsung bagi anak.
3. Mengajarkan Doa Sebagai Bentuk Menenangkan Diri

Rasulullah ﷺ mengajarkan umatnya untuk berzikir dan berdoa saat marah. Salah satu doa yang beliau ajarkan adalah “A’udzu billahi minasy syaithanir rajiim” yang berarti “Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk.” Doa ini dapat diajarkan kepada anak agar mereka memahami bahwa kemarahan perlu diredam dengan mengingat Allah.
كُنْتُ جَالِسًا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَرَجُلاَنِ يَسْتَبَّانِ، فَأَحَدُهُمَا احْمَرَّ وَجْهُهُ، وَانْتَفَخَتْ أَوْدَاجُهُ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” إِنِّي لَأَعْلَمُ كَلِمَةً لَوْ قَالَهَا ذَهَبَ عَنْهُ مَا يَجِدُ، لَوْ قَالَ: أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ، ذَهَبَ عَنْهُ مَا يَجِدُ “
“Pada suatu hari aku duduk bersama-sama Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam sedang dua orang lelaki sedang saling mengeluarkan kata-kata kotor satu dan lainnya. Salah seorang daripadanya telah merah mukanya dan tegang pula urat lehernya. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda, “Sesungguhnya aku tahu satu perkataan sekiranya dibaca tentu hilang rasa marahnya jika sekiranya ia mau membaca, ‘A’udzubillahi minas-syaitani’ (Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan), niscaya hilang kemarahan yang dialaminya.” (HR Bukhari, no. 3282)
Selain doa, orang tua juga dapat membiasakan anak untuk membaca dzikir sebelum tidur atau setelah beraktivitas. Dzikir memiliki efek menenangkan dan membantu anak membangun kesadaran spiritual sejak dini.
4. Membangun komunikasi Lembut dan Penuh kasih
Rasulullah ﷺ selalu berbicara dengan kata-kata lembut, bahkan kepada orang yang menentangnya. Keteladanan ini bisa diterapkan oleh orang tua ketika menghadapi emosi anak. Alih-alih memarahi, cobalah untuk mendengarkan lebih dulu. Tanyakan dengan lembut, “Apa yang kamu rasakan?” atau “Apa yang membuat kamu marah?”
Komunikasi yang empatik dan lembut mampu menurunkan intensitas emosi negatif anak serta memperkuat ikatan antara anak dan orang tua. Dengan cara ini, anak belajar bahwa emosi dapat disampaikan tanpa menyakiti orang lain.
Kesimpulan
Mengajarkan anak mengelola emosi bukanlah proses yang instan. Butuh keteladanan, kesabaran, dan doa yang terus dipanjatkan oleh orang tua. Rasulullah ﷺ telah menunjukkan bahwa kasih sayang dan kelembutan adalah kunci utama dalam mendidik generasi berakhlak.
Dengan membantu anak mengenali emosinya dan meneladani sikap sabar Rasulullah ﷺ, orang tua sesungguhnya sedang menanamkan nilai-nilai spiritual yang akan menjadi panduan hidup anak hingga dewasa. Karena mengelola emosi bukan hanya soal menahan marah, tetapi juga tentang memahami hati, menumbuhkan empati, dan menjaga kedamaian dalam setiap langkah kehidupan.




