Lembaga Pendidikan Montessori Islam

Ketika Anak Merasa Dihakimi, Ini Cara Orang Tua Memperbaikinya

anak merasa dihakimi
October 28, 2025

Ayah dan Bunda, anak-anak sangat sensitif terhadap nada dan ekspresi kita. Ketika anak melakukan kesalahan, respons spontan kita berupa kritik, ceramah panjang, atau sindiran, bisa membuat anak merasa dihakimi

Perasaan ini sangat merusak pada anak bisa menjadi tertutup, takut berbagi, dan enggan mencoba hal baru karena takut gagal. Tugas kita adalah mengubah perspektif, dari hakim menjadi pemandu. Anak membutuhkan validasi dan pengertian, bukan penghukuman atas kekurangan mereka.

Artikel ini hadir untuk memandu Ayah dan Bunda bagaimana cara orang tua memperbaikinya ketika anak merasa dihakimi. Kita akan membahas tips praktis untuk mengganti celaan dengan empati, mengubah kritik menjadi coaching, dan membangun kembali kepercayaan agar anak merasa aman dan didukung. Yuk, simak ulasan selengkapnya!

Akibat Anak Merasa Dihakimi di Lingkungan Keluarga

Tidak ada anak yang ingin tumbuh dengan perasaan tidak dimengerti, apalagi dihakimi oleh orang tuanya. Kalimat seperti “Kamu selalu salah” atau “Kok begitu saja tidak bisa” bisa terdengar ringan bagi orang dewasa, tetapi bagi anak, kata-kata itu bisa menjadi luka yang membekas. Ketika anak merasa dihakimi, ia akan kehilangan rasa aman, kepercayaan diri, dan bahkan kepercayaan terhadap orang tuanya.

Bentuk penilaian negatif yang berulang dari orang tua dapat memicu stres emosional dan membuat anak menarik diri dari komunikasi. Padahal, masa kanak-kanak adalah periode emas bagi pembentukan karakter dan kepribadian. Oleh karena itu, memahami dampak ketika anak merasa dihakimi dan mencari cara memperbaikinya menjadi langkah penting dalam mendidik dengan hati.

Setiap anak memiliki keunikan cara berpikir dan bereaksi terhadap situasi. Ketika orang tua lebih sering menilai daripada memahami, anak akan merasa tidak diterima apa adanya. Berikut ini beberapa akibat yang bisa muncul saat anak merasa dihakimi di lingkungan keluarga.

1. Menurunnya Rasa Percaya Diri Anak

Anak yang sering merasa dihakimi cenderung kehilangan kepercayaan pada kemampuannya sendiri. Ia merasa apa pun yang dilakukan akan salah di mata orang tua. Perasaan ini menumbuhkan ketakutan untuk mencoba hal baru dan membuat anak mudah menyerah.

kritik yang terlalu tajam dan tidak disertai dukungan positif dapat menurunkan self-esteem anak hingga 40 persen pada masa pertumbuhan. Padahal, kepercayaan diri adalah fondasi penting bagi anak untuk belajar mandiri dan berani menghadapi tantangan.

Ketika orang tua memahami hal ini, mereka perlu mengubah cara komunikasi dari menghakimi menjadi menguatkan. Misalnya, mengganti kalimat “Kamu ceroboh banget!” menjadi “Tidak apa-apa, yuk kita cari cara agar besok lebih hati-hati.”

2. Anak Menjadi Tertutup dan Sulit Jujur

Salah satu dampak paling nyata dari anak merasa dihakimi adalah munculnya rasa takut untuk bercerita. Anak akan berpikir bahwa setiap kata atau perbuatannya akan disalahkan. Akibatnya, ia memilih diam dan menyimpan perasaannya sendiri.

Anak yang tumbuh dalam lingkungan penuh penghakiman mengalami penurunan keterbukaan komunikasi keluarga hingga 50 persen. Ini berarti hubungan emosional antara orang tua dan anak menjadi renggang.

Agar hal ini tidak terjadi, orang tua perlu membangun rasa aman dalam komunikasi. Tunjukkan bahwa rumah adalah tempat yang aman untuk bercerita, tanpa takut dimarahi atau dipermalukan.

3. Meningkatnya Risiko Masalah Emosional dan Perilaku

Ketika anak sering merasa dihakimi, perasaan sedih dan marah yang tertahan dapat berubah menjadi perilaku agresif atau menarik diri. Dalam jangka panjang, hal ini bisa memicu masalah emosional seperti kecemasan, depresi ringan, bahkan rendahnya empati sosial.

Anak yang sering mendapat penilaian negatif dari orang tua lebih berisiko menunjukkan perilaku defensif di sekolah dan lingkungan sosialnya. Mereka lebih mudah tersinggung dan sulit menerima kritik dengan sehat.

Itulah sebabnya penting bagi orang tua untuk mengganti pola komunikasi yang penuh penghakiman dengan empati. Sikap ini akan membantu anak membangun ketahanan emosional yang kuat.

Cara Memperbaiki Jika Anak Terlanjur Merasa Dihakimi

Menyadari bahwa anak merasa dihakimi bukanlah akhir dari segalanya. Justru di situlah proses pembelajaran bagi orang tua dimulai. Tidak ada kata terlambat untuk memperbaiki hubungan dengan anak, selama dilakukan dengan keikhlasan dan kesungguhan hati. Berikut beberapa cara memperbaiki jika terlanjur melakukan hal tersebut pada anak menurut psikolog Melly Amala Kiong. 

1. Tidak Ada Kata Terlambat untuk Meminta Maaf

Banyak orang tua merasa gengsi untuk meminta maaf kepada anak, padahal permintaan maaf adalah bentuk keteladanan yang sangat kuat. Saat orang tua mengakui kesalahan, anak belajar tentang kerendahan hati dan kejujuran.

Anak-anak yang pernah mendengar permintaan maaf tulus dari orang tuanya memiliki hubungan emosional yang lebih sehat. Mereka juga lebih mudah memaafkan dan tidak menyimpan dendam.

Mulailah dengan kata sederhana seperti, “Ayah/Ibu minta maaf kalau selama ini sering membuat kamu merasa tidak didengarkan.” Kalimat ini bisa membuka ruang dialog yang hangat dan mengembalikan rasa aman dalam hati anak.

2. Belajar Memahami Posisi Anak

Orang tua perlu berusaha memahami dunia anak dari sudut pandangnya. Anak bukan miniatur orang dewasa; cara berpikir dan emosinya masih berkembang. Ketika orang tua memahami posisi anak, mereka akan lebih sabar dalam merespons kesalahan dan pertanyaan anak.

Empati orang tua terhadap anak terbukti meningkatkan kemampuan anak dalam mengatur emosi dan berperilaku positif. Anak merasa dipahami, bukan dihakimi.

Contohnya, ketika anak menumpahkan air di lantai, daripada langsung memarahi, orang tua bisa berkata, “Kamu kaget ya, makanya airnya tumpah. Yuk kita lap bareng-bareng.” Kalimat seperti ini mengajarkan tanggung jawab tanpa membuat anak merasa bersalah berlebihan.

3. Memberikan Ruang bagi Anak untuk Berpendapat dan Mengekspresikan Diri

Anak yang diberi ruang untuk berbicara akan tumbuh menjadi pribadi yang berani dan terbuka. Ketika anak punya kesempatan mengutarakan pendapatnya, ia merasa dihargai sebagai individu yang memiliki suara.

Anak-anak yang sering diajak berdiskusi dalam keluarga memiliki kemampuan berpikir kritis dan empati sosial yang lebih tinggi. Mereka juga lebih mudah menjalin hubungan positif dengan orang lain.

Mulailah dari hal kecil, seperti meminta pendapat anak saat memilih menu makan malam atau mengajak berdiskusi tentang aktivitas akhir pekan. Dengan begitu, anak belajar bahwa suaranya penting dan tidak akan dihakimi.

Kesimpulan

Ketika anak merasa dihakimi, dampaknya bisa sangat mendalam terhadap kepribadian dan hubungan keluarga. Namun, kabar baiknya, orang tua selalu memiliki kesempatan untuk memperbaikinya. Dengan mengakui kesalahan, memahami sudut pandang anak, dan memberikan ruang untuk berekspresi, hubungan antara orang tua dan anak dapat kembali hangat dan sehat.

Pola komunikasi yang penuh empati dan saling menghargai adalah kunci utama dalam membangun keluarga yang harmonis dan resilien. Maka, mari jadikan rumah bukan tempat penghakiman, tetapi ruang kasih yang menumbuhkan rasa aman, cinta, dan kepercayaan diri bagi setiap anak.

Leave A Comment:

Your email address will not be published. Required fields are marked *