Pendidikan Islam : Melampaui Nilai Tinggi dan Batasan Sekolahisme
Di era yang mengutamakan pencapaian tinggi dan hasil yang terukur, tak heran banyak orang memandang sekolah dan pendidikan sebagai dua hal yang sama. Bagi banyak orang tua dan masyarakat, prestasi anak di sekolah sering kali menjadi indikator utama kesuksesan, terutama dalam mata pelajaran seperti matematika dan sains. Tetapi, apakah sukses benar-benar hanya tentang seberapa baik seorang siswa dalam mata pelajaran tersebut? Dalam bukunya Pendidikan Islam: Mewujudkan Generasi Gemilang Menuju Negara Adidaya 2045, Dr. Adian Husaini mengangkat pertanyaan mendalam tentang pandangan ini. Ia memperkenalkan konsep Sekolahisme—kecenderungan untuk menyamakan pendidikan formal dengan pendidikan sejati—dan mengajak kita untuk memperluas pemahaman kita tentang apa arti mendidik dan membesarkan anak-anak yang sukses.
Konsep Sekolahisme
Dr. Adian menjelaskan bahwa Sekolahisme membatasi cara kita melihat pendidikan dengan mengurungnya dalam batasan sekolah formal. Ketika kita melihat pendidikan sebagai sinonim dari sekolah, kita mulai percaya bahwa sukses diukur dengan nilai akademis, peringkat, atau penerimaan di institusi ternama. Konsekuensinya? Pandangan sempit tentang sukses yang mengukur nilai anak dari nilai-nilai akademiknya, terutama dalam mata pelajaran yang dianggap “penting” untuk karir di masa depan, seperti matematika, sains, atau bahasa.
Padahal, mata pelajaran ini memang penting, tetapi tidak mewakili seluruh potensi manusia. Anak-anak memiliki keunikan dan kemampuan yang beragam—kualitas seperti kreativitas, empati, ketahanan, dan rasa tanggung jawab yang tidak selalu dapat dinilai dalam kategori akademis. Ketika masyarakat menyamakan pendidikan dengan sekolah, kita berisiko mengabaikan aspek-aspek penting ini, yang bisa saja menghambat bakat alami seorang anak.
Perspektif Islam tentang Ilmu dan Sukses
Dalam Agama Islam, mencari ilmu adalah kewajiban sepanjang hidup yang tidak terbatas pada buku pelajaran atau ujian. Rasulullah ﷺ mendorong para pengikutnya untuk menuntut ilmu, dan ajaran Islam menekankan pendekatan pendidikan yang holistik.
Rasulullah SAW bersabda:
وَمَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ
Artinya: “Siapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim, no. 2699).
Dalam pandangan ini, pendidikan bukan hanya tentang akademis, tetapi juga mencakup pengembangan iman, ketakwaan, dan akhlak mulia. Perspektif yang lebih luas tentang ilmu ini mendorong hubungan mendalam dengan Allah dan menanamkan nilai moral yang membimbing perilaku.
Di sinilah batasan dari Sekolahisme mulai tampak. Jika kita hanya berfokus pada kesuksesan akademis, kita mungkin mengabaikan pengembangan aspek-aspek karakter yang penting ini. Alih-alih hanya mengutamakan matematika dan sains, kita juga seharusnya memberikan prioritas pada ilmu yang menguatkan iman dan mendorong perilaku yang baik. Ini termasuk mempelajari Al-Qur’an, kehidupan Rasulullah ﷺ, dan prinsip-prinsip Islam yang menumbuhkan fondasi spiritual yang kuat.
Lensa Sempit dari Kesuksesan Konvensional
Banyak orang tua, didorong oleh keinginan untuk memastikan masa depan anaknya, mendorong fokus yang intens pada prestasi akademis, sering kali dengan satu tujuan: nilai tinggi dan karir yang menjanjikan. Tetapi, fokus ini dapat membuat anak melihat kesuksesan hanya dalam hal pencapaian dan hadiah eksternal, mengabaikan kepuasan batin yang datang dari pertumbuhan pribadi dan iman.
Lebih jauh lagi, ketika kesuksesan didefinisikan secara sempit, anak-anak yang unggul dalam bidang non-akademis—seperti seni, olahraga, atau pelayanan masyarakat—mungkin merasa tidak dihargai. Mereka mungkin mulai percaya bahwa kontribusi atau bakat mereka tidak sepenting pencapaian akademis, yang dapat berdampak pada harga diri dan motivasi mereka secara keseluruhan.
Kebutuhan Akan Pandangan Sukses yang Lebih Luas
Untuk terbebas dari Sekolahisme, kita harus mendefinisikan ulang kesuksesan untuk anak-anak kita. Sukses, dalam bentuk yang paling sejati, adalah menjadi individu yang utuh yang dapat berkontribusi secara positif kepada masyarakat dan memiliki nilai moral yang kuat. Keterampilan akademis itu penting, tetapi harus seimbang dengan kualitas seperti integritas, kasih sayang, dan ketahanan. Anak yang tumbuh menjadi pribadi yang baik, dapat dipercaya, dan memiliki landasan spiritual yang kuat telah mencapai kesuksesan yang tidak dapat diukur oleh nilai rapor.
Selain itu, studi menunjukkan bahwa anak belajar paling baik ketika mereka merasa didukung dan diberikan kesempatan untuk mengeksplorasi minat mereka. Dengan merangkul pandangan pendidikan yang lebih luas, orang tua dapat menciptakan lingkungan yang menghargai kekuatan beragam dan mendorong anak untuk mengembangkan bakat unik mereka. Sebagai contoh, seorang anak yang penasaran dengan dunia alam mungkin didorong untuk mengeksplorasi tidak hanya ilmu pengetahuan di balik ekosistem tetapi juga perspektif Qur’ani tentang menjaga ciptaan Allah.
Membangun Fondasi untuk Pembelajaran Sepanjang Hayat
Orang tua dan pendidik memiliki tanggung jawab untuk membimbing anak tidak hanya menuju keunggulan akademik tetapi juga menuju kehidupan yang seimbang yang mencakup pertumbuhan pribadi, moral, dan spiritual. Dengan menumbuhkan kecintaan untuk belajar yang melampaui nilai, kita membantu anak-anak menjadi tangguh dan adaptif dalam menghadapi tantangan hidup. Faktanya, studi tentang ketahanan dan kecerdasan emosional menunjukkan bahwa anak-anak yang diajarkan untuk menghargai kesadaran diri, empati, dan keterlibatan dalam komunitas tumbuh menjadi orang dewasa yang tidak hanya sukses tetapi juga merasa puas.
Seperti yang ditekankan Dr. Adian Husaini dalam Pendidikan Islam: Mewujudkan Generasi Gemilang Menuju Negara Adidaya 2045, kita perlu mempertanyakan apakah pendekatan kita terhadap pendidikan sejalan dengan tujuan utama dari pendidikan Islam. Jika tujuan kita adalah untuk membesarkan generasi yang akan berkontribusi secara bermakna pada masyarakat dan memiliki akhlak mulia, maka Sekolahisme mungkin tidak cukup. Pendidikan sejati, yang didasarkan pada prinsip Islam dan penerapan dalam kehidupan nyata, mempersiapkan anak-anak untuk sukses di dunia ini dan di akhirat.
Kesimpulan
Anak-anak kita layak mendapatkan pendidikan yang mengenali potensi mereka sepenuhnya, melampaui apa yang dapat diukur oleh ujian standar. Untuk membesarkan generasi yang penuh kasih, kompeten, dan sadar spiritual, kita harus menantang definisi sempit kesuksesan yang dikenakan oleh Sekolahisme. Dengan memperluas pemahaman kita tentang pendidikan untuk mencakup karakter, iman, dan pertumbuhan pribadi, kita menempatkan anak-anak kita di jalur yang selaras dengan pencapaian duniawi dan kepuasan spiritual. Kesuksesan, bagaimanapun juga, bukan hanya tentang unggul dalam matematika dan sains tetapi tentang menjadi versi terbaik dari diri sendiri—dedikasi kepada Allah, berlandaskan nilai, dan siap membuat perbedaan di dunia.