Lembaga Pendidikan Montessori Islam

Mengenal Name Dropping Pada Anak: Ketika Identitas Diri Untuk Menarik Validasi

name dropping
April 26, 2025

Ayah dan Bunda, pernahkah kita mendapati si kecil seringkali menyebutkan nama orang-orang penting, tokoh terkenal, atau bahkan teman-temannya yang dianggap “keren” dalam percakapan? Perilaku yang dikenal sebagai name dropping ini mungkin tampak biasa, namun akan memberikan dampak hingga dewasa.

Artikel ini akan mengupas tuntas fenomena name dropping pada anak. Kita akan mengenali lebih dalam mengapa si kecil melakukannya, apa saja faktor pendorongnya, dan bagaimana kita sebagai orang tua dapat meresponsnya dengan bijak. 

Dengan pemahaman yang tepat, kita dapat membantu anak membangun rasa percaya diri yang sehat, tidak tergantung pada pengakuan eksternal, dan menghargai dirinya sendiri apa adanya. Yuk, kita simak ulasan selengkapnya!

Mengenal Name Dropping dan Penyebabnya

Bunda, sebelum pembahasan kita lebih lanjut mengenai name dropping pada anak. Kita perlu membahas mengenai apa itu name dropping serta kenali penyebabnya1

Apa Itu Name Dropping pada Anak?

Name dropping adalah kebiasaan menyebut-nyebut nama orang lain—terutama yang memiliki status sosial, popularitas, atau pengaruh tertentu—dalam percakapan, dengan tujuan untuk meningkatkan nilai diri di mata orang lain. Saat terjadi pada anak-anak, name dropping bisa menjadi sinyal bahwa anak sedang mencari cara untuk merasa “cukup” di mata lingkungannya.

Misalnya, seorang anak berkata, “Aku main sama kakaknya Kak Fulan yang terkenal itu lho,” atau “Guru favoritku pernah bilang aku anak yang paling pintar.” Kalimat-kalimat seperti itu kadang digunakan bukan semata untuk berbagi cerita, tetapi sebagai upaya meningkatkan citra diri mereka. Ada sejumlah penyebab name dropping yang bisa saja terjadi pada anak.

Ada beberapa faktor yang bisa menjadi pemicu munculnya kebiasaan name dropping pada anak, antara lain:

1. Kurangnya Rasa Percaya Diri

Anak yang belum mengenali potensi dan keunikan dirinya sering kali merasa perlu dikaitkan dengan sosok lain yang dianggap lebih hebat. Mereka menggunakan nama orang lain sebagai cara untuk meningkatkan rasa percaya diri mereka.

Hal ini terjadi karena anak belum memahami bahwa dirinya memiliki nilai tanpa perlu bergantung pada figur lain. Dengan bimbingan yang tepat, mereka dapat mengembangkan kepercayaan diri dan mulai mengenali kualitas positif dalam dirinya sendiri.

2. Lingkungan yang Kompetitif

Sekolah atau keluarga yang sangat menekankan prestasi sering kali menciptakan tekanan bagi anak. Mereka merasa harus selalu menunjukkan keunggulan agar dapat diterima oleh orang di sekitarnya.

Persaingan yang berlebihan dapat membuat anak lebih fokus pada pengakuan daripada proses belajar. Jika tidak diimbangi dengan dukungan emosional, mereka dapat kehilangan kesempatan untuk mengembangkan jati diri secara alami.

3. Pola Asuh yang Terlalu Membandingkan

Orang tua yang sering membandingkan anak dengan orang lain tanpa disadari dapat menurunkan rasa percaya dirinya. Anak merasa bahwa nilai dirinya hanya diukur berdasarkan pencapaian atau kesamaan dengan individu lain.

Alih-alih membandingkan, orang tua sebaiknya mendorong anak untuk fokus pada perkembangan dirinya sendiri. Dengan pendekatan ini, anak dapat memahami bahwa setiap individu memiliki keunikan dan jalan masing-masing untuk mencapai keberhasilan.

4. Pengaruh Media Sosial dan Selebritas

Anak yang sering melihat konten tentang popularitas, jumlah pengikut, dan hubungan dengan figur terkenal mungkin mulai menilai kesuksesan berdasarkan pengakuan publik. Mereka bisa berpikir bahwa dikenal oleh orang penting adalah ukuran utama keberhasilan.

Jika tidak diarahkan dengan baik, anak bisa mengembangkan standar yang tidak realistis terhadap dirinya sendiri. Penting bagi orang tua untuk membantu mereka memahami bahwa nilai diri tidak bergantung pada eksistensi di dunia maya atau hubungan dengan individu terkenal.

Penelitian menunjukkan bahwa anak yang memiliki konsep diri rendah dan sering mencari validasi sosial cenderung mengalami kesulitan dalam membentuk relasi yang sehat dengan teman sebayanya.

Cara Mengatasi Anak Terbawa Name Dropping

Mengatasi kebiasaan name dropping pada anak bukan soal memarahi atau langsung melarang, melainkan membimbing dengan pendekatan yang penuh empati dan kesadaran akan perkembangan psikologis anak.

1. Mengingatkan Anak Mengenai Nilai Taqwa di Hadapan Allah 

Bunda, hal pertama yang perlu Anda lakukan saat anak mulai terbawa name dropping dari pergaulannya, kenalkan pada anak mengenai nilai taqwa kepada Allah. Bunda bisa menjelaskan bahwa Allah menetapkan nilai manusia bukan dari statusnya melainkan dari keimanannya. 

Hal ini tertulis pada Q.S Al Hujurat ayat 13 

يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْاۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْۗ اِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ ۝١٣

yâ ayyuhan-nâsu innâ khalaqnâkum min dzakariw wa untsâ wa ja‘alnâkum syu‘ûbaw wa qabâ’ila lita‘ârafû, inna akramakum ‘indallâhi atqâkum, innallâha ‘alîmun khabîr

Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan. Kemudian, Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Teliti.

2. Bangun Rasa Percaya Diri Anak

Anak yang memiliki kepercayaan diri tidak akan merasa perlu menggunakan nama orang lain untuk mendapatkan pengakuan. Membantu mereka mengenali potensi diri dan mengapresiasi pencapaian kecil akan menumbuhkan perasaan berharga dalam diri mereka.

Selain prestasi akademik, orang tua juga perlu menghargai aspek lain seperti kebaikan hati, keberanian, dan tanggung jawab. Pujian seperti, “Ibu bangga karena kamu berani minta maaf lebih dulu,” lebih efektif dalam membangun karakter positif daripada sekadar memuji nilai di sekolah.

2. Validasi Emosi dan Pengalaman Anak

Terkadang anak menyebut nama orang lain saat berbicara karena merasa kurang didengar. Orang tua dapat membantu dengan menjadi pendengar aktif yang memberikan perhatian penuh saat anak berbagi pengalaman dan pemikirannya.

Menunjukkan bahwa pengalaman mereka sendiri sudah cukup berharga akan mengurangi kebiasaan mereka menggantungkan nilai diri pada orang lain. Dengan dukungan yang tepat, anak akan lebih nyaman berbicara tanpa perlu membandingkan diri mereka dengan orang lain.

3. Diskusikan Secara Terbuka Tentang Keunikan Diri

Mendorong anak untuk mengenali kelebihan mereka sendiri tanpa menyebut orang lain akan membantu membangun identitas yang kuat. Percakapan reflektif seperti, “Apa hal yang kamu banggakan dari dirimu minggu ini?” dapat memotivasi mereka untuk mengapresiasi diri sendiri.

Orang tua juga bisa bertanya, “Menurut kamu, apa hal unik dari dirimu yang nggak dimiliki orang lain?” Pertanyaan ini membantu anak memahami bahwa setiap individu memiliki karakteristik spesial yang tidak perlu dibandingkan dengan orang lain.

4. Kurangi Pola Perbandingan dalam Keluarga

Terlalu sering membandingkan anak dengan orang lain dapat membuat mereka merasa bahwa nilai diri mereka hanya diukur dari pencapaian. Pola asuh seperti ini dapat mempengaruhi perkembangan emosional mereka dan membuat mereka lebih bergantung pada validasi eksternal.

Gantilah narasi seperti “Kamu harus seperti A” menjadi “Apa yang bisa kamu pelajari dari A?” Pendekatan ini lebih membangun karena menekankan pembelajaran daripada kompetisi, sehingga anak tetap fokus pada perkembangan dirinya sendiri.

5. Ajarkan Tentang Ketulusan dalam Berteman

Anak perlu memahami bahwa hubungan sosial yang sehat tidak ditentukan oleh siapa yang mereka kenal, tetapi oleh bagaimana mereka memperlakukan orang lain. Menumbuhkan nilai ketulusan dalam berteman akan membantu mereka membangun hubungan yang lebih bermakna.

Ketika anak belajar menghargai orang lain tanpa motif tersembunyi, mereka akan tumbuh menjadi pribadi yang lebih otentik. Sikap ini membuat mereka lebih nyaman dalam berinteraksi tanpa merasa perlu membuktikan sesuatu kepada orang lain.

Kesimpulan 

Name dropping pada anak bukanlah kebiasaan yang muncul tiba-tiba, melainkan sinyal bahwa anak sedang mencari tempatnya di dunia sosial. Sebagai orang tua atau pendidik, kita punya peran besar untuk membimbing mereka menemukan identitas sejatinya tanpa harus bergantung pada asosiasi luar. Anak-anak yang dibimbing dengan empati dan dibekali dengan kepercayaan diri akan tumbuh menjadi pribadi yang kuat dari dalam, bukan sekadar dari nama yang mereka sebutkan.

Reference 

  1. Tron R. Key. On Name-Dropping: The Mechanisms Behind a Notorious Practice in Social Science and the Humanities. Diakses pada 2025 ↩︎
Leave A Comment:

Your email address will not be published. Required fields are marked *