Lembaga Pendidikan Montessori Islam

Anak Berkelahi? Begini Cara Orang Tua Menghadapi dengan Tepat

anak berkelahi
May 3, 2025

Ayah dan Bunda, pernahkah kita merasa khawatir atau bahkan frustrasi saat melihat anak berkelahi, baik dengan saudara kandung maupun teman sebayanya? Reaksi pertama kita mungkin adalah melerai atau bahkan memarahi mereka. 

Namun, tahukah kita bahwa cara kita merespons perkelahian anak memiliki dampak besar pada kemampuan mereka dalam menyelesaikan konflik di kemudian hari? Artikel ini hadir untuk memberikan panduan praktis bagi Ayah dan Bunda tentang cara menghadapi anak yang berkelahi dengan tepat dan efektif. 

Anda bisa menemukan cara membahas langkah-langkah yang bisa diterapkan untuk memahami akar permasalahan, menenangkan emosi anak, dan mengajarkan mereka cara menyelesaikan konflik secara sehat. 

Dengan pendekatan yang tepat, momen perkelahian justru bisa menjadi kesempatan berharga untuk mendidik keterampilan sosial dan emosional si kecil. Yuk, simak ulasan selengkapnya!

5 Penyebab Anak Bersikap Agresif dan Mudah Berkelahi 

Saat melihat anak terlibat perkelahian, banyak orang tua langsung merasa cemas, marah, atau bahkan malu. Namun sebelum terburu-buru memarahi, penting untuk memahami bahwa perkelahian pada anak bukan semata-mata perilaku buruk yang muncul tanpa sebab. 

Justru di balik kejadian itu, tersimpan banyak hal yang perlu dipahami lebih dalam, terutama dalam proses perkembangan emosi dan sosial anak.

Menangani anak berkelahi tidak cukup hanya dengan melarang atau menghukum. Dibutuhkan pemahaman yang utuh tentang penyebabnya agar solusi yang diberikan bisa mendidik, bukan sekadar menekan. 

Beberapa penyebab umum anak berkelahi yang disesuaikan dengan artikel ilmiah berjudul Faktor-Faktor Penyebab Agresivitas Pada Anak Usia DIni di X Islamic Preschool Yogyakarta antara lain:

1. Anak Sedang Belajar Mengelola Emosi

Anak usia dini belum sepenuhnya mampu mengungkapkan perasaan mereka seperti marah, kecewa, atau frustrasi dengan kata-kata. Karena keterbatasan ini, emosi yang mereka rasakan sering kali muncul dalam bentuk perilaku fisik, termasuk berkelahi sebagai cara spontan untuk melampiaskan perasaan yang sulit mereka kendalikan.

Mereka masih dalam tahap memahami cara yang tepat untuk mengekspresikan emosi. Oleh karena itu, peran orang tua sangat penting dalam mengajarkan anak cara yang lebih positif untuk menyampaikan perasaan, seperti berbicara, menarik napas dalam-dalam, atau menggunakan kata-kata sederhana untuk mengungkapkan apa yang mereka rasakan.

2. Kurangnya Kemampuan Menyelesaikan Konflik

Banyak anak belum terbiasa menyelesaikan masalah melalui komunikasi yang efektif. Ketika mereka merasa keinginannya tidak terpenuhi atau merasa tidak didengar, mereka bisa memilih jalan pintas berupa perkelahian sebagai bentuk protes terhadap situasi yang tidak mereka sukai.

Karena keterbatasan dalam keterampilan komunikasi ini, mereka mungkin kesulitan menemukan solusi damai saat menghadapi konflik. Mengajarkan anak cara berbicara, mendengarkan, dan bernegosiasi sejak dini dapat membantu mereka mengembangkan keterampilan sosial yang lebih matang.

3. Pengaruh Lingkungan Sosial terhadap Perilaku Anak

Lingkungan sosial yang penuh konflik atau sering mempertontonkan kekerasan verbal maupun fisik dapat berdampak besar pada perkembangan anak. Mereka cenderung meniru pola perilaku yang mereka lihat di rumah, media, atau interaksi dengan teman sebaya.

Menurut jurnal lainnya menjelaskan, anak belajar melalui observasi dan cenderung mencontoh model yang ada di sekitar mereka. Jika mereka terbiasa melihat kekerasan sebagai bentuk penyelesaian masalah, mereka bisa menganggapnya sebagai sesuatu yang wajar dan sulit mengembangkan cara lain dalam berinteraksi sosial.

4. Kebutuhan untuk Mendapatkan Perhatian

Dalam beberapa kasus, anak berkelahi sebagai cara untuk menarik perhatian orang dewasa di sekitarnya. Ketika mereka merasa diabaikan atau kurang mendapatkan perhatian yang cukup, perilaku agresif bisa menjadi bentuk ekspresi untuk mencari pengakuan.

Orang tua perlu memahami apakah anak berperilaku agresif karena merasa kurang didengar atau tidak mendapatkan cukup kasih sayang. Dengan memberikan perhatian positif secara rutin, anak akan merasa lebih aman dan tidak perlu menggunakan perilaku agresif untuk mendapatkan perhatian.

5. Masalah dalam Regulasi Diri

Anak-anak dengan tantangan sensorik atau gangguan pemusatan perhatian, seperti ADHD, sering kali lebih impulsif dan mudah terlibat dalam konflik fisik. Mereka kesulitan dalam menenangkan diri saat menghadapi situasi yang membuat mereka merasa tertekan atau frustrasi.

Dukungan orang tua dalam membantu anak mengembangkan keterampilan regulasi diri sangat penting. Mengajarkan teknik pernapasan, memberi ruang untuk menenangkan diri, atau membimbing anak dalam mengenali tanda-tanda emosinya bisa menjadi langkah yang efektif dalam membantu mereka mengontrol impulsivitas.

Dengan memahami alasan di balik perilaku anak, orang tua dapat mengambil langkah yang tepat untuk menangani situasi tanpa membuat anak merasa bersalah secara berlebihan.

5 Langkah Menghadapi Anak Berkelahi yang Tepat Tanpa Kekerasan

Meskipun perkelahian pada anak bisa membuat orang tua khawatir, menghadapi mereka dengan tenang dan penuh empati adalah kunci. Berikut lima langkah efektif yang bisa dilakukan orang tua dalam menangani anak berkelahi secara positif dan membangun.

1. Membaca Taawudz 

Saat anak baru saja selesai berkelahi, kondisi emosinya sedang tidak stabil. Jangan langsung menginterogasi atau menghakimi. Bawa anak ke tempat yang tenang, beri waktu untuk bernapas dan menenangkan diri. Dengan cara ini, anak akan lebih siap untuk mendengarkan dan berbicara. Dalam sebuah hadist, Rasulullah bahkan menganjurkan untuk membaca taawudz dan bersikap tenang. 

كُنْتُ جَالِسًا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَرَجُلاَنِ يَسْتَبَّانِ، فَأَحَدُهُمَا احْمَرَّ وَجْهُهُ، وَانْتَفَخَتْ أَوْدَاجُهُ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” إِنِّي لَأَعْلَمُ كَلِمَةً لَوْ قَالَهَا ذَهَبَ عَنْهُ مَا يَجِدُ، لَوْ قَالَ: أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ، ذَهَبَ عَنْهُ مَا يَجِدُ “

“Pada suatu hari aku duduk bersama-sama Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam sedang dua orang lelaki sedang saling mengeluarkan kata-kata kotor satu dan lainnya. Salah seorang daripadanya telah merah mukanya dan tegang pula urat lehernya. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda, “Sesungguhnya aku tahu satu perkataan sekiranya dibaca tentu hilang rasa marahnya jika sekiranya ia mau membaca, ‘A’udzubillahi minas-syaitani’ (Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan), niscaya hilang kemarahan yang dialaminya.” (HR Bukhari, no. 3282). 

Menurut penelitian, anak membutuhkan pendampingan orang dewasa untuk memulihkan diri dari respons stres. Kehadiran orang tua yang tenang bisa membantu anak merasa aman dan lebih mudah membuka diri.

2. Dengarkan Versi Cerita Anak Tanpa Menyela

Setelah anak tenang, tanyakan dengan nada lembut, apa yang sebenarnya terjadi. Biarkan ia bercerita tanpa takut dimarahi. Dengarkan dengan penuh perhatian, tunjukkan bahwa orang tua peduli dan ingin memahami, bukan hanya menghakimi.

Langkah ini sangat penting karena membangun kepercayaan dan menunjukkan bahwa orang tua menghargai suara anak. Ketika anak merasa didengar, ia pun lebih mudah menerima masukan atau nasihat.

3. Bantu Anak Memahami Emosi dan Akibat Tindakannya

Gunakan kesempatan ini untuk mengajarkan anak mengenali emosi yang ia rasakan. Misalnya, “Tadi kamu marah karena mainanmu diambil, ya?” Setelah itu, ajak anak memikirkan akibat dari tindakannya, seperti membuat orang lain sakit atau takut.

Studi menyebutkan bahwa anak yang diajarkan mengenali dan menyebutkan emosinya sejak dini memiliki kemampuan sosial dan pengendalian diri yang lebih baik.

4. Ajarkan Cara Menyelesaikan Masalah Tanpa Kekerasan

Setelah anak memahami kesalahannya, beri alternatif tindakan yang bisa ia ambil jika situasi serupa terjadi. Ajak anak bermain peran atau berdialog, misalnya dengan kalimat seperti “Lain kali, kamu bisa bilang: ‘Aku tidak suka kamu ambil mainanku. Boleh minta balik?’”

Dengan memberi contoh konkret, anak lebih mudah memahami dan menerapkan cara menyelesaikan konflik tanpa harus berkelahi.

5. Berikan Konsekuensi yang Mendidik, Bukan Hukuman yang Melukai

Jika anak memang melakukan kesalahan, berikan konsekuensi logis yang mendidik. Misalnya, mengajak anak meminta maaf kepada teman, atau mengambil waktu jeda dari permainan agar ia bisa merenung.

Hindari hukuman yang membuat anak merasa malu atau ditolak. Menurut pendekatan positive discipline, konsekuensi yang diberikan dengan penuh cinta akan lebih efektif dalam mengubah perilaku anak daripada hukuman keras yang menyakitkan.

Kesimpulan 

Menghadapi anak suka berkelahi memang tidak mudah. Tetapi dengan kesabaran, empati, dan pemahaman yang mendalam, orang tua bisa membantu anak mengembangkan keterampilan sosial dan emosional yang penting. Anak tidak butuh orang tua yang sempurna, tapi butuh orang tua yang hadir dan mengerti.

Menangani anak berkelahi bukan soal meredam emosi mereka, tapi mendampingi mereka untuk belajar mengelola dan mengubah emosi itu menjadi kekuatan. Di sinilah peran besar orang tua dalam membentuk generasi yang mampu menyelesaikan konflik dengan kepala dingin dan hati yang sehat.

Reference 

Faisal Akbar dkk. 2021. Faktor-Faktor Penyebab Agresivitas Pada Anak Usia DIni di X Islamic Preschool Yogyakarta. DIRASAH. Volume 4 Nomer 1. 

Leave A Comment:

Your email address will not be published. Required fields are marked *