Lembaga Pendidikan Montessori Islam

Stop! Ini 5 Faktor Anak Jadi Pelaku Bullying, Bunda Waspadai Sejak Awal Ya

anak jadi pelaku bullying
April 26, 2025

Bunda, pernahkah kita membayangkan bahwa anak kita berpotensi menjadi pelaku bullying? Fenomena yang meresahkan ini bisa terjadi pada siapa saja, dan seringkali dipicu oleh faktor-faktor yang mungkin tidak kita sadari sejak dini. Sebagai orang tua, kewaspadaan kita adalah kunci untuk mencegah anak jadi pelaku bullying di kemudian hari.

Perhatikan anak, jika ia dalam perilaku yang merugikan orang lain ini. Artikel ini hadir untuk membuka mata kita tentang lima faktor utama yang dapat mendorong anak menjadi pelaku bullying

Bunda bisa mengetahui awal permasalahan untuk melakukan tindakan pencegahan sejak awal. Dengan mengenali faktor-faktor risiko ini, kita dapat menciptakan lingkungan yang aman, suportif, dan mengajarkan empati kepada anak-anak kita, sehingga mereka tumbuh menjadi individu yang bertanggung jawab dan menghargai sesama. Yuk, simak ulasan lengkapnya!

Kenapa Anak Bisa Jadi Pelaku Bullying?

Anak yang melakukan bullying seringkali tidak menyadari bahwa tindakannya sudah menyakiti orang lain. Mereka mungkin merasa lebih kuat, lebih “berkuasa”, atau hanya ingin mendapat pengakuan dari teman-temannya.

Dalam sejumlah penelitian menyebutkan bahwa anak yang jadi pelaku bullying umumnya mengalami ketidakstabilan emosi, kekurangan empati, dan cenderung memiliki masalah dengan kontrol diri. Beberapa dari mereka juga sebenarnya menyimpan luka batin atau rasa tidak aman, yang kemudian dimanifestasikan dalam bentuk dominasi terhadap anak lain. Ada sejumlah ciri-ciri anak yang berpotensi jadi pelaku bullying1.

Bunda, ada sejumlah tanda yang menunjukkan si kecil berpotensi near empati jika dibandingkan dengan teman sebayanya. Hal itu bisa terlihat dari beberapa hal dibawah ini: 

1. Senang Merendahkan atau Mengejek Teman Secara Berulang

Beberapa anak memiliki kebiasaan meremehkan teman-temannya secara terus-menerus. Perilaku ini bukan sekadar candaan, tetapi bentuk penghinaan yang dapat melukai perasaan orang lain.

Tanpa disadari, sikap merendahkan dapat menciptakan ketidaknyamanan sosial bagi korban. Jika tidak dihentikan, hal ini bisa berkembang menjadi bullying yang berdampak negatif pada kesehatan mental anak yang terdampak.

2. Cepat Marah dan Sulit Mengontrol Emosi

Anak yang kesulitan mengelola emosinya sering kali bereaksi dengan kemarahan berlebihan. Mereka cenderung meledak-ledak dan melampiaskan perasaan frustasi kepada teman yang lebih lemah.

Kurangnya kemampuan untuk mengendalikan emosi bisa menyebabkan masalah dalam hubungan sosial. Jika tidak diarahkan dengan baik, anak dapat mengembangkan pola interaksi yang agresif dan merugikan orang di sekitarnya.

3. Memiliki Geng atau Kelompok yang Menolak Anak Lain

Eksklusivitas sosial dalam kelompok tertentu dapat mendorong terbentuknya perilaku bullying. Anak yang merasa lebih dominan dalam geng cenderung menentukan siapa yang boleh masuk dan siapa yang harus dijauhi.

Keadaan ini bisa membuat beberapa anak merasa terisolasi dan kehilangan rasa percaya diri. Lingkungan sekolah atau sosial yang sehat seharusnya mendorong interaksi yang terbuka tanpa membatasi pergaulan berdasarkan status kelompok.

4. Suka Menunjukkan Dominasi

Beberapa anak memiliki kecenderungan untuk selalu ingin terlihat lebih unggul daripada teman-temannya. Mereka sering mendominasi percakapan, permainan, atau aktivitas kelompok tanpa memberi ruang bagi orang lain.

Perilaku ini dapat membuat anak lain merasa tidak dihargai atau kehilangan kesempatan untuk berkembang. Orang tua dan guru perlu mengajarkan pentingnya kerja sama serta menghargai kontribusi orang lain dalam lingkungan sosial.

5. Tidak Menunjukkan Rasa Bersalah Setelah Menyakiti Orang Lain

Ketika seorang anak tidak merasa bersalah setelah menyakiti temannya, ini bisa menjadi tanda kurangnya empati. Mereka mungkin belum memahami dampak emosional dari tindakan mereka terhadap orang lain.

Kesadaran emosional perlu dibangun sejak dini melalui interaksi yang penuh perhatian. Anak perlu diajarkan pentingnya meminta maaf dan memahami perasaan orang lain agar mampu menjalin hubungan yang sehat.

5 Faktor Anak Jadi Pelaku Bullying dan Cara Mengatasinya

Setiap anak lahir tanpa niat menyakiti. Namun lingkungan, pengalaman, dan pola asuh bisa mengubah cara mereka berinteraksi dengan dunia. Berikut ini lima faktor utama anak jadi pelaku bullying dan langkah yang bisa Bunda lakukan untuk mengatasinya.

1. Pola Asuh Otoriter atau Abai

Anak yang tumbuh di rumah dengan pola asuh yang keras, penuh tekanan, atau bahkan kurang perhatian, cenderung memproyeksikan frustasi mereka melalui perilaku agresif. Mereka bisa belajar bahwa “menekan orang lain” adalah cara untuk merasa berdaya, hal ini berpotensi membuat anak jadi pelaku bullying.

Anda bisa mulai menerapkan pola asuh yang seimbang tegas tapi penuh kasih. Bangun komunikasi dua arah dan hindari menggunakan kekerasan fisik atau verbal sebagai bentuk hukuman.

2. Lingkungan Sekolah yang Tidak Responsif

Sekolah yang tidak memiliki sistem pengawasan yang baik terhadap interaksi siswa bisa menjadi ladang subur untuk perilaku bullying. Anak merasa bebas melakukan intimidasi tanpa konsekuensi. Sayangnya, hal ini bisa membuat anak-anak jadi pelaku bullying yang tidak mereka sadari.

Jangan lupa pastikan anak berada di lingkungan sekolah yang memiliki kebijakan anti-bullying yang jelas. Buat anak aktif melibatkan diri dalam komunikasi aktif dengan guru dan wali kelas.

3. Pengaruh Teman Sebaya

Anak yang berada dalam kelompok pertemanan yang suka mengejek, mem-bully, atau mengucilkan anak lain cenderung ikut terbawa. Ini disebut sebagai peer pressure. Dari cara anak tidak peduli dengan teman lainnya bisa membuat anak jadi pelaku bullying yang merugikan anak lain.

Cari lingkungan yang sehat pada anak. Ajak anak berdiskusi tentang pentingnya memilih teman yang sehat dan positif. Tumbuhkan keberanian anak untuk berkata “tidak” pada perilaku yang menyimpang.

4. Paparan Media Kekerasan

Film, game, atau konten media sosial yang menormalisasi kekerasan bisa membuat anak menganggap agresi adalah sesuatu yang keren atau wajar. Apalagi jika ditonton tanpa pendampingan.

Dampingi anak saat menonton atau bermain game. Berikan batasan waktu dan diskusikan nilai-nilai moral dari tayangan yang mereka konsumsi. Jangan lupa batasi waktu screen time bagi anak. 

5. Kurangnya Pengembangan Empati

Anak yang tidak diajarkan untuk memahami perasaan orang lain cenderung lebih mudah menyakiti. Empati bukan sesuatu yang muncul begitu saja, tapi harus dilatih sejak dini.

Biasakan anak dan latih anak mengenal emosi dan memahami perasaan orang lain melalui cerita, permainan peran, atau pengalaman langsung. Tanyakan, “Kalau kamu jadi dia, apa yang kamu rasakan?”

Kesimpulan: Peran Keluarga dalam Mencegah Anak Jadi Pelaku Bullying

Bunda, menjadi pelaku bullying bukanlah identitas anak yang tak bisa diubah. Justru ketika kita menyadari lebih awal bahwa anak menunjukkan potensi perilaku seperti itu, kita bisa bergerak cepat memberikan pendampingan dan arahan yang tepat. 

Kunci utamanya adalah membangun kedekatan, mendengarkan lebih banyak, dan menjadi teladan dalam membangun relasi yang sehat. Anda juga perlu mengetahui ciri jika anak jadi pelaku bullying yang tidak disadarinya.

Anak perlu adanya kedekatan keluarga dan komunikasi terbuka secara signifikan mampu mengurangi risiko anak jadi pelaku bullying. Maka, jangan takut untuk bertanya, “Apakah ada sesuatu yang membuatmu merasa marah atau sedih hari ini?” karena terkadang anak hanya butuh ruang untuk merasa dimengerti.

Reference 

  1. Ayu Wangi Wulandari. 2021. Karakteristik Pelaku dan Korban Bullying di SMA Negeri 11 Surabaya. Diakses pada 2025  ↩︎

Leave A Comment:

Your email address will not be published. Required fields are marked *